Kompleksitas
Virus Korona, Pewarta Berita sebagai Terorist ?
Oleh :
Aloysius Suhartim Karya (Louis)
Labuan Bajo, D'Louis Blog - Prahara
pandemi ini berakibat ‘paranoid akut’ bagi warga masyarakat yang tinggal di
kampung, hal ini terjadi dari akumulasi berita dibeberapa Media Sosial seperti
(Facebook, Twitter, Instagram, WhatsApp
dan lainnya) dan juga beberapa berita ‘miring’ pada Media Massa tentang
virus Korona.
Seperti yang kita ketahui, bahwa warga masyarakat yang tinggalnya dikampung, sebagian dari mereka melek digitalisasi, tentu mereka memiliki akun pada platform media sosial sehingga memudahkan mereka berselancar pada dunia maya dan mendapatkan informasi variatif mengenai korona. Sebagiannya juga tidak tahu menahu tentang bermedia sosial. Pada umumnya mereka apatis dengan peradaban masyarakat disekitar lingkungannya. Misalnya dalam komunikasi verbal banyak anak mudah bahkan diantaranya orang tua ‘dewasa’ menggunakan bahasa ‘Vikinisasi’ hal ini dianggap ‘gaul/keren’ juga dianggap ‘Gokil’. Efek demostrasi ‘peniruan’ seperti ini sulit dibendung dalam peradaban dewasa ini, karena pemilik akun media sosial tersebut berinteraksi terlalu dalam ‘keseringan’ berintim dengan berbagai jenis platform media sosial.
Seperti yang kita ketahui, bahwa warga masyarakat yang tinggalnya dikampung, sebagian dari mereka melek digitalisasi, tentu mereka memiliki akun pada platform media sosial sehingga memudahkan mereka berselancar pada dunia maya dan mendapatkan informasi variatif mengenai korona. Sebagiannya juga tidak tahu menahu tentang bermedia sosial. Pada umumnya mereka apatis dengan peradaban masyarakat disekitar lingkungannya. Misalnya dalam komunikasi verbal banyak anak mudah bahkan diantaranya orang tua ‘dewasa’ menggunakan bahasa ‘Vikinisasi’ hal ini dianggap ‘gaul/keren’ juga dianggap ‘Gokil’. Efek demostrasi ‘peniruan’ seperti ini sulit dibendung dalam peradaban dewasa ini, karena pemilik akun media sosial tersebut berinteraksi terlalu dalam ‘keseringan’ berintim dengan berbagai jenis platform media sosial.
Kasus Korona
ini sudah mendunia, tercatat 190 Negara terpapar. Sebelumnya, kita yang
bertempat tinggal di Labuan Bajo dan Flores umumnya, menyaksikan berita tentang
kasus korona dibeberapa Negara seperti : Cina, Italia, India, Amerika termasuk Indonesia yang disajikan oleh
pewarta berita pada layar kaca ‘televisi’. Kita pun berharap, agar penyebaran
virus mematikan ini tidak bermutan ke tana Nusa Bunga. Namun, takdir berkata
lain. Sepekan lalu, orang nomor satu di kabupaten Manggarai Barat itu, selaku
ketua Tim Gugus Tugas penanganan penyebaran Covid-19, Bupati Agustinus Ch Dulla
mengumumkan bahwa dua orang pasien dalam pantauan (PDP) kluster Gowa dinyatakan
positif korona setelah di tes swab oleh team medis pada laboratorium di Jakarta,
artinya tana Nuca Lale terinfeksi oleh virus tak berkasat mata itu. Labuan Bajo
pun berubah status dari zona hijau (negative) menjadi zona merah (positive).
Komunitas
Masyarakat yang tinggal di kampung dengan aksesibilitas telekomunikasi terbatas, hampa terhadap perkembangan kasus korona di tana air, mereka sangat membingungkan. Apalagi dengan banyaknya istilah –istilah medis terkait
covid ini, mereka penasaran untuk mengetahui kasus yang bersifat abstrak ini. Kepala
mereka dipenuh oleh pertanyaan – pertanyaan logis, misalnya : Apa itu korona ? Apa perbedaan Corona dengan Covid-19 ? Apa itu OTG, ODP dan PDP dan lain sebagainya ?
Persis pada
situasi inilah kaum melek media sosial itu, menjadi pewarta berita kepada
komunitas masyarakat dikampung – kampung. Biasanya, orang – orang dikampung
selalu berkumpul sambil menikmati kopi pagi, makan siang atau kopi sore baik
di beranda rumah, di halaman rumah atau di deker pada pinggir jalan, di ladang
atau sawah sambil menyiangi rumput atau sedang panen padi misalnya, mereka
berkumpul sambil berdiskusi atau mendengarkan materi Covid-19 dari seseorang
yang baru saja pulang dari kota, atau seseorang yang telah mendapatkan signal
internet dan sempat berselancar di google dan mendapatkan perkembangan masalah
korona. Dalam situasi pandemi ini, tema diskusi pada setiap ruang setana air, khususnya di kampung - kampung tidak lain
selain kasus Covid-19.
Celakanya,
tradisi ‘membual’ suka menambah, menambal dan menyulam informasi dari sumber
tidak valid, agar menarik didengar oleh audiens tidak pernah hilang dan bahkan semakin
mengakar. Motif penutur sesungguhnya pun sederhana yaitu agar tema materi yang
disajikan menjadi dramatis, tragis dan menggugah hati pendengar. Tapi yang
terjadi malah sebaliknya, masyarakat yang diharapkan selalu waspada terhadap
penyebaran virus korona menjadi takut ‘Paranoid Akut’ Dalam dirinya penuh curiga
terhadap siapa saja selain dirinya dan keluarga ‘seisi rumahnya’. Parahnya,
warga kampung yang telah lama meninggalkan kampung halaman, merantau keluar
daerah baik karena motif ekonomi, politik, sosial, pendidikan dan lain
sebagainya, dipulangkan karena terdampak virus korona, mereka terpaksa pulang ke kampung halaman masing - masing. Mereka tidak diterima
oleh warga kampungnya, bahkan ditolak oleh keluarganya sendiri ketika mereka
minta untuk numpang istirahat malam saja.
Virus korona
membuas, aksinya membabi buta. Menjarah hakekat dasar hidup kita ‘manusia’. Sesama
makhluk berakal budi seyogia-nya, kita menjadi pahlawan terhadap sesama. Pengejawatahan
rasa empati kita terhadap pandemi covid-19 ini cukup dengan menyebarkan berita
dan informasi sebenarnya, ‘faktual’. Kaum melek media sosial khususnya, mari
perbaharui diri kita. Jadilah pahlawan sesungguhnya dalam melawan virus ini,
aksi heroik berupa diam dirumah saja dan tidak banyak cakap, apalagi berdalih
‘perspektif’ pribadi adalah andil yang sangat diapresiasi. Stop menyebarkan berita, bohong karena itu akan menakutkan orang lain.
Multatuli
pernah berkata “Tugas Manusia adalah menjadi manusia bukan menjadi dewa bukan
juga menjadi setan”
Semoga Virus
korona segera hengkang dari Ibu Pertiwi, agar tugas kita sebagai makhluk sosial
dapat kembali berinteraksi seperti sediakala.
Komentar
Posting Komentar