Setiap orang saat ini
selalu memantau grafik suspect pasien korona yang positif yang
diumumkan oleh pemerintah dengan penuh harapan grafik virus korona ini lekas
menurun. insan berakal budi tak berdaya, sejenis makhluk tak berkasat
mata dengan leluasa memorak - porandakan kehidupan umat manusia di Bumi. hati
terkikis, teriris melihat situasi yang tak terkendali ini, ekonomi memburuk,
relasi sosial dibantai, regulasi yang ditetapkan oleh virus ini diantaranya
memaksa setiap orang untuk meninggalkan keramaian, jaga kebersihan (selalu
mandi, cuci tangan, sikat gigi dan selalu rapi & bersih) dan sebagainya.
Virus ini seakan penguasa jagat raya dalam perjalanan abad ini.
Ilustrasu Bumi sedang sakit |
Semua orang berupaya semaksimal mungkin agar terhindar dari malapetaka ini, dan bahkan banyak diantaranya mengutuki virus yang dinamakan oleh ahli pandemiologi "Korona" sikap egoistik ini adalah benteng diri sekaligus pemicu lahirnya interpretasi bervariasi yang sama sekali tidak berindikasi "Mawas Diri" hingga berimplikasi pada tindakan yang melanggar aturan dan berakhir kematian. dengan banyaknya asumsi saat ini saya mencoba untuk berhipotesa " Virus Korona, Bencana Menjadi Anugerah " dalam hal ini bukan berarti saya mensyukuri kepada saudara/i yang telah menjadi martir melawan korona melainkan memperteguh keyakinan kita agar kiranya kita mencoba introspeksi diri mengapa ini terjadi dan siapa musuh sesungguhnya dari virus ini ?
Sebelum pandemi, kehidupan umat manusia sangat bebas (borderless) keyakinan
manusia sebagai makhluk yang telah berevolusi secara sempurna tertanam pada
alam bawah sadar setiap orang, seakan - akan menjadi penguasa jagat raya. alam
raya dijadikan panggung pementasan intelektualitas manusia yang disebut INNOVATION. Inovasi
tersebut menggeserkan peradaban manusia pada bumi, kita saksama telah mempelajari untuk memahami salah satu revolusi saat ini yang kita kenal revoluis industri 4.0 peradaban di bumi pun berganti dari konvensional
menuju beradaban yang sempurna yaitu modernisasi. terbersit dalam ingatan ku seorang akosofi Norwegia bernama Arne Naes bersama ekofilosofi lain meragukan gagasan evolusi yang kian marak terjadi, bahwa tidak semua yang dahulu itu buruk dan tidak semua yang diciptakan
sekarang itu berfaedah.
Pada era peradaban baru
ini, semua orang berkompetisi dalam segala aspek kehidupan untuk menjadi
pemenang, setidaknya berada pada posisi aman dan nyaman. semisal, digitalisasi
dewasa ini mengharuskan semua orang memiliki gawai, setiap hari bekerja banting
tulang untuk mendapatkan produk baru agar hidup mentereng, perusahaan pun
dituntut untuk memenuhi permintaan pasar (konsumen) sehingga perusahaan -
perusahaan industri ngebut memproduksi produknya untuk dipasarkan. paradigma
pragmatis persis lahir dalam situasi ini. setiap orang selalu memikirkan uang
dan uang, meskipun uang bukan segalanya namun segalanya membutuhkan uang.
keadaan ambivalensi ini menjadi sangat dilematis, alam pun lelah menyaksikan atraksi
makhluk berakal budi yang dengan jelas merugikannya.
Pada penghujung tahun
2019, tepatnya bulan Desember disebuah kota bernama Wuhan di Cina didatangi
oleh virus ini, dalam beberapa pekan saja orang - orang dikarantina, dirawat di
rumah sakit dan sebagian diantaranya meninggal dunia. Indonesia pun mengalami
nasib yang sama dengan negara tetangganya, pemerintah menetapkan aturan hingga
yang terakhir yaitu Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), orang - orang
mengkarantina diri Self Isolation dirumah masing - masing.
perusahaan - perusahaan besar yang tadinya menjadi sarat kehidupan mewah, yang
selalu mendulang keuntungan dari khalayak ramai kini runtuh bahkan ada beberapa
diantaranya gulung tikar. proses produksi pun berhenti seketika.
Ilustrasi bumi sebelum dan sesudah pandemi |
Alam raya yang tadinya sekarat dengan perilaku manusia, kini legah dan sedang akan membaik, pada beberapa kanal media daring saya dapatkan informasi pada beberapa negara industrilis diantaranya Wuhan - Cina, Jakarta - Indonesia, Italia, Arab, Amerika dan lainnya mengalami kondisi alam yang sudah baik. alam raya seakan dipulihkan disaat semua orang dikarantina massal, langit cerah - gulungan awan tampak jelas saat dengan bola mata, aliran sungai jernih sampai ikan - ikan pun malu ketika diamati oleh manusia dan planet lain di bumi pun bebas dari hempasan aktivitas manusia. dalam permenungan saya seorang diri bahwa dalam kondisi sesederhana ini saya masih dapat hidup dan menikmatinya. Pengeluaran harian saya pun terbatas jika dibandingkan sebelumnya, ketika saya keluar rumah minimal saya harus mengantongi Rp. 50.000 karena saya selalu makan diluar rumah, rokok dan ngopi di warung. saya akhirnya berpikir bahwa Bencana ini adalah pengejawantahan dari Anugerah Alam, alam telah mengajarkan hal terpenting bahwa selama ini kehidupanmu dibaluti glamority, gaya hidup hedonis adalah budak napsu. napsu itu harus dilenyapkan dengan satu cara Self Isolation.
Gaya
hidup glamor sesungguhnya pemicu terjadinya konflik, baik konflik internal/eksternal (personal maupun impersonal). seorang petani misalnya menjual sebidang tanah
dan mendapatkan miliaran rupiah dari hasil penjualan asetnya, uang yang
didapatkannya tersebut sebagian dipergunakan untuk bangun rumah mewah, beli sepeda motor, sebagiannya
lagi dihabisi kawin kontrak dengan perempuan penjual seks komersial (PSK), setelah
diketahui oleh sang istri akhirnya bercerai sedangkan anak - anak terlantar tak
terurus dan petani tersebut mengidap penyakit kelamin dan banyak hal negatif
lainnya yang bisa saja terjadi. Multatuli pernah berkata " Tugas
manusia adalah menjadi manusia tidak menjadi dewa dan tidak juga menjadi setan
" Semoga dengan peristiwa ini, umat manusia di bumi menjadi manusia
yang sesungguhnya.
Stay
save untuk semua saudara/i ku semua, kiranya empunya kehidupan selalu
memberikan kita kesempatan untuk menikmati Bumi yang indah nan pesona
ini.
Waemata,
29 April 2020.
Aloysius
Suhartim Karya (Louis)
Komentar
Posting Komentar